Qunut Nazilah, Apa dan Bagaimana
@RumahFiqihIndonesia
Do’a merupakan senjata orang mukmin,
dimana dengannya ummat islam memohon pertolongan dan perlindungan kepada
Dzat yang Maha Melindungi. Selain itu, sebagai saudara seiman, tentunya
ummat islam ibarat satu tubuh, yang ketika ada anggota tubuh yang
tersakiti maka anggota yang lain akan merasakannya. Untuk itulah maka
saling mendoakan merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap sesama
muslim.
Elemen do’a ini merupakan salah satu
elemen penting, selain elemen bantuan lain ketika saudara kita ditimpa
musibah dan tertindas, seperti bantuan materi berupa bahan makanan,
pakaian, uang maupun bantuan kekuatan militer atau politik.
Ada berbagai macam cara dalam berdo’a,
mulai dari yang ditentukan secara baku sampai yang dibebaskan tata cara
pelaksanaannya. Diantaranya ada do’a yang dipanjatkan dalam pelaksanaan
qunut di dalam shalat. Ibadah qunut yang pada intinya merupakan do’a ada
3 jenis, yaitu : qunut subuh, qunut witir dan qunut nazilah. Pada
kesempatan kali ini akan dibahas mengenai qunut Nazilah, mulai dari
definisi, hukum dan tata cara pelaksanaannya.
Hakikat Qunut Nazilah
Secara bahasa kata qunut (القنوت) merupakan bentuk mashdar dari kata kerja (قنت - يقنت) yang memiliki beberapa macam arti, antara lain : ta’at, shalat, berdiri lama, diam dan berdoa. Hanya saja arti terakhir ini menurut Az-Zajaj adalah definisi yang paling terkenal.[1]
Untuk itulah definisi qunut secara istilah adalah :
اسْمٌ لِلدُّعَاءِ فِي الصَّلاةِ فِي مَحَلٍّ مَخْصُوصٍ مِنَ الْقِيَامِ
“Istilah untuk do’a di dalam shalat yang dilakukan pada saat tertentu ketika berdiri.”[2]
Sedangkan kata Nazilah (النازلة) merupakan bentuk isim fa’il muannats dari kata kerja (نزل -ينزل) yang bermakna musibah luar biasa.[3]
Maka qunut nazilah adalah qunut yang
dilakukan ketika terjadi musibah luar biasa yang menimpa ummat islam.
Tujuan qunut ini adalah untuk mendoakan kebaikan dan keselamatan bagi
yang tertimpa musibah besar tadi serta menjauhkan mereka dari bahasa
musuh yang mengintai.
Hukum Qunut Nazilah
Sebagaimana hukum qunut witir dan qunut
subuh, qunut nazilah merupakan jenis qunut yang status hukumnya
diperselisihkan oleh para ulama, meskipun perselesihan tersebut tidak
sebesar yang terjadi pada dua jenis qunut yang lain.
Ada dua pendapat besar dalam masalah ini, meskipun nanti ada rincian lebih detail dari salah satu pendapat yang ada :
A. Pendapat Pertama : Hukumnya Sunnah
Ini adalah pendapat mayoritas ulama,
antara lain madzhab Hanafi, Syafi’i an Hanbali. Hanya saja mereka
berbeda pendapat tentang kapan waktu pelaksanaannya dan kejadian apa
saja yang disunnahkan melakukan qunut nazilah. Berikut rinciannya :
1. Madzhab Hanafi
Ulama dari madzhab ini berpendapat
bahwasanya qunut nazilah disunnahkan dalam setiap musibah besar yang
menimpa ummat islam, waktunya hanya pada shalat-shalat jahriyyah[4] saja.[5]
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh At-Thahawi :
إِنَّمَا لا يَقْنُتُ عِنْدَنَا فِي صَلاةِ الْفَجْرِ مِنْ دُونِ وُقُوعِ بَلِيَّةٍ، فَإِنْ وَقَعَتْ فِتْنَةٌ أَوْ بَلِيَّةٌ فَلا بَأْسَ بِهِ ، فَعَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Tidak boleh melakukan qunut menurut
madzhab kami pada shalat subuh jika tidak terjadi musibah. Ketika
terjadi fitnah atau musibah maka boleh melakukannya, Rasulullah
-shallallahu 'alahi wa sallam- pun pernah melakukannya.”[6]
Di dalam unternal madzhab ini juga terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah dilaksanakan sebelum ruku’ ataukah sesudahnya.
2. Ulama Madzhab Syafi’i
Ulama dari madzhab ini berpendapat –senada
dengan Mazhab Hanafi- bahwasanya qunut subuh ini disunnahkan dilakukan
ketika terjadi musibah besar, hanya saja waktunya dilakukan pada semua
shalat fardhu baik sirryiyah maupun jahriyyah.
Dicontohkan bahwa musibah besar yang dimaksud seperti terjadi waba
penyakit, musim paceklik, banjir besar, rasa takut terhadap musuh dan
ditawannya seorang alim oleh musuh.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi berikut ini :
مُقْتَضَى كَلامِ الأَكْثَرِينَ أَنَّ الْكَلامَ وَالْخِلافَ فِي غَيْرِ الصُّبْحِ إِنَّمَا هُوَ فِي الْجَوَازِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُشْعِرُ إِيرَادُهُ بِالاسْتِحْبَابِ ، قُلْتُ : الأَصَحُّ اسْتِحْبَابُهُ ، وَصَرَّحَ بِهِ صَاحِبُ الْعُدَّةِ ، وَنَقَلَهُ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ فِي الإِمْلاءِ
“Inti dari pendapat mayoritas ulama
adalah bahwasanya perbedaan pendapat dalam masalah (hukum qunut yang
dilakukan pada shalat fardhu) selain shalat subuh adalah apakah (qunut)
tersebut dibolehkan atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat
bahwasanya hukumnya mustahab (disunnahkan), menurut pendapatku yang
paling shahih adalah mnustahab. Hal ini sebagaimana diungkapkan secara
jelas oleh pengarang kitab Al-Uddah dan dia meriwayatkan nash dari Imam
As-Syafi’i dalam kitab Al-Imla’.[7]
Dalil dari Madzhab Syafi’i yang mendukung
bahwa qunut nazilah dilakukan pada semua shalat fardhu adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya dia berkata :
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ ، يَدْعُو عَلَى رَعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الأَخِيرَةِ ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ "
“Rasulullah -shallallahu 'alahi wa
sallam- melakukan qunut selamat satu bulan secara berturut-turut pada
waktu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Beliau mendoakan
keburukan untuk kabilah Ra’l, Dzakwan dan Ushaiyyah pada (rakaat) akhir
setiap shalat usai beliau membaca “”. Dan para ma’mum pun mengaminkan
do’a beliau.”[8]
3. Madzhab Hambali
Ulama dari madzhab ini berpendapat
bahwasanya hukumnya disunnahkan qunut nazilah ini pada setiap musibah
besar yang menimpa ummat islam kecuali wabah penyakit Ta’un. Adapun
waktu pelaksanaannya adalah di setiap shalat waji kecuali pada waktu
shalat jum’at.[9]
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Buhuti berikut :
... (فَإِنْ نَزَلَ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ ) هِيَ الشَّدِيدَةُ مِنْ شَدَائِدِ الدَّهْرِ ( غَيْرَ الطَّاعُونِ )... ( سُنَّ لإِمَامِ الْوَقْتِ خَاصَّةً )... ( الْقُنُوتَ بِمَا يُنَاسِبُ تِلْكَ النَّازِلَةِ فِي كُلِّ مَكْتُوبَةٍ ) ...(الْقُنُوتَ بِمَا يُنَاسِبُ تِلْكَ النَّازِلَةِ فِي كُلِّ مَكْتُوبَةٍ ) لِفِعْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد ( إلا الْجُمُعَةَ )...
“… Jika terjadi musibah besar yang
menimpa ummat islam, dimana musibah ini termasuk kejadian luar biasa
dimasanya selain wabah Ta’un maka disunnahkan bagi pemimpin tertinggi
khususnya untuk melakukan qunut berkenaan dengan musibah yang menimpa
tersebut, yang dilaksanakan pada setiap shalat wajib. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi -shallallahu 'alahi wa sallam-pada
haditsIbnu Abbas yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud. Kecuali pada
shalat jum’at…”[10]
Dalil atas pendapat ini antara lain :
- Alasan mereka bahwasanya ketika terjadi wabah Ta’un Amwas, yaitu wabah ta’un pertama yang menimpa ummat islam di Syam maupun wabah ta’un yang lain tidak ada riwayat yang menunjukkan telah dilakukan qunut nazilah.
- Selain itu bagi seorang muslim yang tertimba wabah ini maka ketika meninggal mereka tergolong orang pilihan yang mati syahid, sehingga tidak harus meminta untuk diangkat.
- Sedangkan mengapa tidak dilaksanakan pada shalat Jum’at adalah karena pada pelaksanaan ibadah shalat jum’at sudah ada do’a pada saat khutbah. Sehingga tidak perlu lagi dilakukan qunut nazilah.[11
B. Pendapat Kedua : Hukumnya Makruh
Ini adalah pendapat yang masyhur dari
Madzhab Maliki dan pendapat yang tidak shahih dari Madzhab Syafi’i,
menurut pendapat ini qunut itu tidak disunnahkan kecuali pada waktu
shalat shubuh.[12]
Syaikh Muhammad ‘Alis menyebutkan ketika menjelaskan teks dalam kitab Mukhtashar Khalil :
( بِصُبْحٍ فَقَطْ ) فَلا يُنْدَبُ فِي وَتْرٍ فِي رَمَضَانَ وَلا فِي غَيْرِهِ لِحَاجَةٍ كَغَلاءٍ وَوَبَاءٍ , بَلْ يُكْرَهُ فِيهِمَا وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ.
“(Hanya pada waktu Subuh saja) maka
(qunut) tidak disunnahkan pada shalat witir Ramadhan maupun
shalat-shalat yang lain karena terjadi hal-hal yang dibutuhkan seperti
musim paceklik maupun wabah, bahkan pada dua kondisi tersebut hukumnya
makruh dilakukan berdasarkan pendapat yang masyhur.”[13]
Dalil dari Madzhab Maliki dalam masalah ini adalah dua hadits berikut ini :
1. Dari Anas bin Malik dia berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ.
“Rasulullah -shallallahu 'alahi wa
sallam- melakukan qunut selama satu bulan dengan mendoakan keburukan
untuk beberapa perkampungan Arab, kemudian beliau meninggalkannya.”[14]
2. Dari Abu Hurairah berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بَعْدَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ : رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ ، اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ ، وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ ، وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ ، وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ . ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَّهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا نَزَلَتْ: "لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ"
“Dahulu Rasulullah -shallallahu 'alahi
wa sallam- pernah berdoa ketika usai bangkit dari ruku’ pada rakaat
kedua shalat subuh setelah membaca () :
“Ya Allah bagimu segala puji… Ya Allah
selamatkan Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyash bin Abi
Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kalagan orang mukmin. Ya Allah
berikan adzab yang dahsyat pada suku Mudlar, dan timpakan kepada mereka
tahun-tahun seperti yang menimpa Yusuf.”
Setelah itu telah sampai kepada kami
bahwasanya beliau meninggalkannya ketika turun ayat (yang artinya) :
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu[227] atau
Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena Sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali Imran : 128).”[15]
Dari dua hadits di atas bisa disimpulkan
bahwasanya qunut nazilah ini memang pada awalnya pernah dilakukan oleh
Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam- namun kemudian perintah
tersebut telah dinasakh/dihapus.
Tata Cara Pelaksanaan
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwasanya
terdapat perbedaan pendapat mengenai pada shalat apa saja qunut nazilah
ini dilakukan.
- Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwasanya hanya dilakukan pada shalat fardhu jahriyah saja.
- Ulama Madzhab Syafi’i berpendapat dilakukan pada semua shalat fardhu baik jahriyyah maupun sirriyah.
- Ulama Madzhab Hanbali berpendapat dilakukan pada semua shalat fardhu kecuali pada saat shalat Jum’at.
Cara Membaca Do’a
Ketika qunut nazilah ini dilakukan pada shalat-shalat jahriyyah maka cara membaca do’anya adalah dengan mengeraskan suara. Namun bagaimana jika dilakukan pada shalat sirriyah seperti shalat Dhuhur dan Ashar?
Bagi madzhab yang berpendapat bahwasanya qunut ini dilakukan di semua shalat fardhu, baik itu jahriyyah maupun sirriyah cara
membaca do’anya sama, yaitu dengan mengeraskan suara. Hal ini
sebagaimana yang diterangkan oleh Imam An-Nawawi berikut ini :
وَأَمَّا غَيْرُ الصُّبْحِ إِذَا قَنَتَ فِيهَا ، فَالرَّاجِحُ أَنَّهَا كُلَّهَا كَالصُّبْحِ سِرِّيَّةً كَانَتْ ، أَوْ جَهْرِيَّةً
“…Adapun jika pada shalat
selain shalat subuh dilakukan qunut, maka pendapat yang rajih (dalam
pelaksanaannya) adalah sama seperti shalat shubuh, baik shalat sirriyah
maupun jahriyyah.”[16]
Do’a Yang Dibaca
Do’a yang dilafadzkan ketika qunut
nazilah adalah do’a yang intinya memohon kepada Allah untuk diselamatkan
dari musibah besar yang sedang menimpa ummat islam. Selain itu juga
berisi tentang permohonan pertolongan dari para musuh ketika musibah
yang menimpa adalah berupa penindasan maupun kondisi ketakutan dan
kekhawatiran ketika terjadi peperangan.
Di antara contoh doa qunut nazilah adalah
sebagaimana terdapat dalam riwayat Umar Ibn Al-Khattab -radhiyallahu
'ahnu- bahwasanya beliau pernah berdo’a ketika qunut dengan lafadh
berikut :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ، وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ ، وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ ، اللَّهُمَّ الْعَنْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ ، وَيُكُذِّبُونَ رُسُلَكَ ، وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ اللَّهُمَّ خَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمَ ، وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ ، وَأَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِى لاَ تَرُدُّهُ عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَنُثْنِى عَلَيْكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ ، وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ نُصَلِّى وَنَسْجُدُ ، وَلَكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ ، نَخْشَى عَذَابَكَ الْجَدَّ ، وَنَرْجُو رَحْمَتَكَ ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِينَ مُلْحَقٌ.
“Ya Allah berikanlah ampunan kepada
kami, juga untuk orang-orang mu’min laki-laki maupun perempuan,dan
orang-orang muslim laki-laki maupun perempuan. Satukanlah hati-hati
mereka, perbaikilah hubungan mereka, tolonglah mereka atas musuh-Mu dan
musuh mereka. Ya Allah berikanlah laknat para orang-orang kafir ahli
kitab yang mendustakan utusan-Mu dan membunuh para wali-Mu. Ya Allah
cerai beraikan kalimat mereka, goncangkan kaki-kaki mereka serta
turunkanlah siksa-Mu yang tidak bisa dihindarkan untuk kaum yang
melakukan kejahatan.
Dengan menyebut nama Allah yang maha
pengasih lagai Maha Penyayang. Ya Allah kami memohon pertolongan-Mu,
memohon ampunan-Mu, memuji-Mu, tidak kufur terhadap-Mu, serta melepaskan
dan meninggalkan orang yang bermaksiat kepada-Mu.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah kami beribadah kepada-Mu,
untuk-Mu kami shalat dan sujud, dan kepada-Mu lah kami menuju dan
bergegas. Kami takut akan adzab-Mu yang keras, kami memohon rahmat-Mu,
sesungguhnya adzab-Mu kepada orang-orang yang kafir itu pasti akan
terjadi.”[17]
Selain do’a di atas juga ada riwayat lain dari Umar Ibn Al-Khattab yang hampir serupa :
اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ نُصَلِّى وَنَسْجُدُ ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِينَ مُلْحَقٌ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ ، وَنُثْنِى عَلَيْكَ الْخَيْرَ وَلاَ نَكْفُرُكَ ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.
“Ya Allah kami beribadah kepada-Mu,
untuk-Mu kami shalat dan sujud, dan kepada-Mu lah kami menuju dan
bergegas. Kami takut akan adzab-Mu yang keras, kami memohon rahmat-Mu,
sesungguhnya adzab-Mu kepada orang-orang yang kafir itu pasti akan
terjadi. Ya Allah kami memohon pertolongan-Mu, memohon
ampunan-Mu, memuji-Mu, tidak kufur terhadap-Mu, kami beriman dan tunduk
kepada-Mu, serta meninggalkan orang yang kufur kepada-Mu.”[18]
Demikianlah pembahasan singkat mengenai
qunut nazilah. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya saat ini
kondisi ummat islam di beberapa belahan dunia sedang mengalami musibah
besar yang berkepanjangan seperti saudara-saudara kita di Suriah,
Rohingya maupun Palestina. Untuk itulah selain bantuan fisik, kita juga
bisa membantu mereka melalui panjatan do’a yang kita haturkan melalui
ibadah qunut nazilah ini.
Wallahu a’lam bisshawab
[1] Lihat : Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, jilid. 34, hal. 57
[2] Definisi ini diungkapkan oleh Ibnu ‘Allan dalam Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah ‘ala Al-Adzkar An-Nawawiyah, jilid 2, hal. 286
[3] Al-Mu’jam Al-Wasith, jilid 2, hal. 915
[4] Yaitu shalat-shalat dimana Imam mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan surat Al-Qur’an seperti Subuh, Maghrib dan Isya’
[5]
Al-Bahru Ar-Ra’iq dan Hasyiyahnya Minhatu Al-Khaliq karya Ibnu ‘Abidin,
jilid 2, hal. 47-48 dan Ad-Dur Al-Muntaqa Syarh Al-Multaqa, jilid 1,
hal. 129
[6] Lihat : ‘Uqud Al-Jawahir Al-Munifah karya Az-Zubaidi, jilid 1, hal. 147
[7] Raudhah At-Talibin, jilid 1, hal. 254
[8] HR. Abu Dawud (jilid 2, hal. 143), derajatnya hasan menurut Ibnu Hajar
[9] Al-Mughni, jilid 2, hal 587-588. Al-Mubdi’, jilid 2, hal. 13
[10] Kassyaf Al-Qina’, jilid 1, hal. 494
[11] Kassyaf Al-Qina’, jilid 1, hal. 494. Syarh Muntaha Al-Iradat, jilid 1, hal. 229
[12] Mawahib Al-Jalil, jilid 1, hal. 539, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhddzab, jilid 3, hal. 494
[13] Minah Al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 1 hal. 157
[14] HR. Muslim, hadits no.1586 jilid 2, hal. 137
[15] HR. Al-Bukhari (Hadits no. 4284, jilid 4, hal. 1661) dan Muslim (hadits no. 294, jilid 1, hal. 466)
[16] Raudhah At-Thalibin, jilid 1, hal. 255
[17] Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, Bab do’a qunut, jilid 2, hal 210-211, hadits no. 3268
[18] HR. Al-Baihaqi (Sunan Al-Kubra, jilid 2, hal.211)
Komentar
Posting Komentar