Edisi Tafsir: Wanita Baik Untuk Laki-Laki yang Baik
Bermula dari pertanyaan yang
masuk di inbox tentang pemaknaan ayat QS. An-Nur: 26, apakah ayat
tersebut bisa difahamai dengan ala kadarnya sesuai dengan terjemahannya
bahwa “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”, atau bagaimana?
Dengan merujuk kepada lebih kurang kitab tafsir; Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, As-Sya’rowi, Tafsir As-Sya’rowi, dan Ibnu Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, ¸ juga ditambah dengan bebarapa bacaan pendukung lainnya, dapatlah kita berikan penjelasan sederhananya sebagai berikut:
Imam As-Sya’rowi dalam menafsirkan ayat ini memberikan penekanan yang lebih akan pentingnya kesamaan antara suami dan istri. Inilah yang disebut dengan sekufu'. Kesamaan yang dimaksud terutama dalam hal agama, walaupun tidak menutup kemungkinan persamaan cara berpikir, starata pendidikan, starata sosial dan ekonomi juga menjadi pertimbangan yang kuat.
Maka dalam prakteknya bisa dipastikan bahwa laki-laki baik juga akan mendamkan perempuan yang baik, dan perempuan yang baik juga akan berusaha mencari laki-laki yang baik.
Memang sulit mengukur tingkat kebaikan dalam katagori agama, kecuali jika sebelumnya ada pengakuan yang jujur. Namun disinilah pentingnya jalan musyawarah, dan ini jugalah rahasianya mengapa perempuan itu tidak boleh menikahkan dirinya sendirinya, wali menjadi syarat sahnya pernikahan, karena perempuan wajib memusyawarahkannya dahulu sebelum menerima atau menolak lamaran dari laki-laki yang datang.
Jangan hanya karena hati ini sudah berbunga-bunga lalu kemudian menutup mata akan penilaian yang lainnya; bagaimana aqidahnya, sholatnya seperti apa, bagaimana akhlaknya, seperti apa dia dimata keluarga dan shabatnya, seperti apa cara pandangnya tentang kehidupan, dan seterusnya.
Lalu tiba-tiba mau diajak kawin lari, atau malah kawin kontrak. Tidakkah kita berpikir bahwa bahwa dia yang tidak berani mendatangi perempuan dengan baik adalah ciri dari laki-laki yang tidak baik. Dan sebaliknya dia yang mau diajak berbuat tidak baik adalah ciri dari perempuan yang tidak baik.
Bertaubat adalah cara terbaik untuk melepaskan diri dari cap sebagai laki-laki atau perempuan buruk. Ini adalah cara perbaikan diri berkesinambungan yang diajarkan oleh Islam. Siapa yang mengakhirkan istighfarnya sedang ia mampu unutuk beristighfar sekarang, maka istighfarnya itu membutuhkan istighfar lainnya, inilah taubatnya taubat, seperti kata Ibnu QayyimAl-Jauzi.
Kalangan Hanafiyah mensahkan pernikahan ini, baik yang menikahinya itu dia yang menzinahi atau orang lain. Mereka menambahkan boleh bagi yang menzinahi untuk melakukan hubungan suami-istri setelah akad tersebut, akan tetapi jika yang menikainya itu orang lain, maka dia tidak boleh melakukan hubungan suami-istri sampai si perempuannya melahirkan. (Lihat: al-Kasa’i, Bada’i' as-Shona’i', 2/269)
2. Pendapat Kedua
Kalangan Syafi’iyyah juga membolehkan pernikahan ini, hanya saja makruh hukumnya menggauli istrinya yang sedang hamil itu setelah aqad. (lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/191).
Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti mereka merestui hubungan perzinahan yang sudah terjadi. Tidak. Zina tetap haram, dan ia merupakan perilaku yang sangat tercela.
Akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak ada hubungan sama sekali. Zina memang haram, tapi nikahkan halal. Dan yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
Seperti yang ditulis Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya bahwa permisalannya sama seperti orang yang mencuri buah dari kebun milik tuannya, lalu kemudian tuan kebun tersebut membeli buah darinya, maka apa yang dibeli hukumnya halal dan apa yang dicuri hukumnya haram. [ومثل ذلك مثل رجل سرق من حائط ثمره ثم أتى صاحب البستان فاشترى منه ثمره، فما سرق حرام وما اشترى حلال ]
Belum lagi yang demikina didukung oleh hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
Pendapat ini juga bersandar kepada beberapa atsat yang pernah ada, diantaranya ini merupakan pendapat Abu Bakar ra, Umar ra, Ibnu Umar ra, dan Ibnu Abbas ra. (Lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/189)
Di Indonesia pendapat ini lebih dipakai, lihat saja misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam kita pada pasal bab VIII, pasal 53 dalam tiga ayatnya yang berisikan:
Pendapat Ketiga
Pendapat ini menyatakan bahwa perempuan yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahkan, sampai dia melahirkan. Baik bagi dia yang menzinahi maupun bagi selainnya. Ini adalah pendapat dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 32/110, dan Kasyfu al-Qona’, 5/83).
Imam Ibnu Qudamah (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 7/107) menyatakan bahwa yang demikian karena keumuman hadits berikut:
Hadits ini secara redaksi sebenarnya berbicara tentang tidak bolehnya mengauli budak yang sedang hamil, akan tetapi keumuman lafaznya juga bisa dipakai untuk selain budak.
Bukan berarti hadits tersebut melarang seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang hamil. Bukan. Akan tetapi ini lebih mengarah kepada hal pernikahan. Jika dengan istri sendiri yang sudah sah, oke-oke saja. Tidak ada masalah. Jangan panik dulu.
Belum lagi ditambah dengan penjelasan hadits berikut:
“Dari AbudDarda’, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia (tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal untuknya, ….”(H.R Muslim)
Pengarang kitab Nailul Author, As-Syaukani juga menyatakan keharamannya, berdasarkan ayat berikut:
“ laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An-Nur: 3)
Ditambah dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika pernikahan seperti ini dibolehkan, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan sedikit ‘lalai serta mengangagap remeh perkara ini.
“Ga apa-apa hamil duluan, toh akhirnya nikahnya juga masih sah ko”. Begitu mungkin dalam anggapan sebagian orang. Untuk itulah mereka berpendapat bahwa pernikahan seperti ini tidak boleh terjadi, sebagai salah satu jalan untuk menutup perilaku zina yang sekarang terus berkembang dan menjamur diamana-mana.
Begitulah akhirnya, memang jiwa-jiwa itu seperti prajurit yang dibariskan, hanya mereka yang saling mengenallah yang akan mendekat dan pada akhirnya bersatu.
Dengan merujuk kepada lebih kurang kitab tafsir; Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, As-Sya’rowi, Tafsir As-Sya’rowi, dan Ibnu Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, ¸ juga ditambah dengan bebarapa bacaan pendukung lainnya, dapatlah kita berikan penjelasan sederhananya sebagai berikut:
Tema Ayat
Surat
An-Nur secara umum memang memberikan banyak pengajaran tentang tema
kesucian, oleh karenanya para ulama sering berpesan agar perempuan
muslimah sering membaca surat ini; surat cinta dari Sang Pencipta
tentang kesucian, walaupun dilain pihak laki-laki dianjurkan untuk
sering mentadaburi surat At-Taubah yang banyak memberikan pengajaran
tentang pentingnya sebuah kejujuran, agar diri jauh dari sifat munafiq.
QS.
An-Nur: 26 ini adalah ayat penutup yang Allah turunkan untuk menyatakan
tentang kesucian Aisyah ra istri Rasulullah SAW dari tuduhan keji yang
tersiar bahwa Aisyah ra sudah berlaku mesum dengan Sufyan bin Muatthal.
Jadi
inilah tema sentral dari ayat yang sekarang menjadi pembahasan kita.
Pengetahuan ini penting sekali untuk diketahui, agar ayat ini mula-mula
kita fahami dulu sesuai dengan konteks dimana ayat ini turun, dan apa
yang melatar belakangi turunnya, barulah kemudian ayat ini bisa kita
bawa untuk menuju hikmah berikutnya yang mungkin ajan kita dapatkan
selanjutnya
Makna Ayat
QS. An-Nur; 26 ini berbunyi:
الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ
لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ
مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Kata al-khabitsat pada ayat diatas setidaknya difahami dengan dua makna; Perkataan keji atau perempuan yang keji, pun begitu dengan kata at-thayyibat dan at-thayyibun bisa difahami dengan dua makna yag sama: Perkataan yang baik atau laki-laki yang baik.
Sebenarnya
kedua pemakaan tersebut bisa kita ambil semua tanpa harus membuang
salah satunya, dalam ilmu tafsir perbedaan pemaknaan ini masuk dalam
kata gori ikhtilaf at-tanawwu’ dimana memungkin bagi kita untuk mengambil semua makna yang aslinya tidak saling bertentangan.
Jika kita fahami bahwa al-khabitsat itu bermakna perkataan yang keji, maka kira-kira makna ayat tersebut akan seperti ini: Perkataan
keji itu hanya untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki keji itu memang
layak mendapatkan perkataan yang keji, sedang perkataan baik itu untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu memang layak untuk
mendapatkan perkataan yang baik.[ قال
ابن عباس: الخبيثات من القول للخبيثين من الرجال، والخبيثون من الرجال
للخبيثات من القول. والطيبات من القول، للطيبين من الرجال، والطيبون من
الرجال للطيبات من القول.]. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Quran Al-Azhim.
Namun jika kita memahaminya dengan arti perempuan yang keji, maka makna ayat tersebut akan seperti ini: “Perempuan
yang keji itu untuk laki yang keji, dan laki-laki yang keji itu untuk
perempuan yang keji pula, sedang perempuan yang baik itu untuk laki-laki
yang baik, dan laki-laki yang baik itu untuk perempuan yang baik pula” وقال]
عبد الرحمن بن زيد بن أسلم: الخبيثات من النساء للخبيثين من الرجال،
والخبيثون من الرجال للخبيثات من النساء، والطيبات من النساء للطيبين من
الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات من النساء]. Ini adalah pendapat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, juga seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Seperti
yang sudah kita singgung diatas, bahwa kedua pemakanaan ini satu dengan
yang lainnya bisa saling melengkapai, kedua pemaknaan ini mengarah
kepada satu tema; pensucian Aisyah ra dari perkataan keji orang-orang
munafik yang menebar isu miring tentang istri Rasulullah SAW ini.
Bahwa
perkataan keji yang itu adalah isu panas yang tersebar dimana-dimana
semestinya hanya untuk perempuan keji, bukan untuk perempuan yang suci.
Pun begitu bahwa perempuan yang yang keji itu hanya untuk laki-laki yang
keji pula.
Bagaimana
mungkin isu keji itu diarahkan kepada sosok Aisyah ra yang suci. Dan
mustahil rasanya istri Rasulullah SAW, orang yang paling bertaqwa
didunia ini, adalah peremuan yang keji (berbuat mesum).
Itulah rahasianya mengapa kata al-khabitsat itu
didaluhulukan, karena maksud awalnya adalah sesegera mungkin mensucikan
sosok Aisyah ra atas isu yang melanda beliau, begitu menurut Ibnu Asyur
dalam kitabnya At-Tahrir wa At-Tanwir.
Imam Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menguatkan
bahwa memang sudah sunnahnya mereka yang mempunyai kesamaan itu akan
bersatu, dan bersatunya Rasulullah SAW dengan Aisyah ra sebagai bukti
bahwa Aisyah ra bukanlah perempuan keji seperti yang diisukan.
Sekufu'Imam As-Sya’rowi dalam menafsirkan ayat ini memberikan penekanan yang lebih akan pentingnya kesamaan antara suami dan istri. Inilah yang disebut dengan sekufu'. Kesamaan yang dimaksud terutama dalam hal agama, walaupun tidak menutup kemungkinan persamaan cara berpikir, starata pendidikan, starata sosial dan ekonomi juga menjadi pertimbangan yang kuat.
Maka dalam prakteknya bisa dipastikan bahwa laki-laki baik juga akan mendamkan perempuan yang baik, dan perempuan yang baik juga akan berusaha mencari laki-laki yang baik.
Memang sulit mengukur tingkat kebaikan dalam katagori agama, kecuali jika sebelumnya ada pengakuan yang jujur. Namun disinilah pentingnya jalan musyawarah, dan ini jugalah rahasianya mengapa perempuan itu tidak boleh menikahkan dirinya sendirinya, wali menjadi syarat sahnya pernikahan, karena perempuan wajib memusyawarahkannya dahulu sebelum menerima atau menolak lamaran dari laki-laki yang datang.
Jangan hanya karena hati ini sudah berbunga-bunga lalu kemudian menutup mata akan penilaian yang lainnya; bagaimana aqidahnya, sholatnya seperti apa, bagaimana akhlaknya, seperti apa dia dimata keluarga dan shabatnya, seperti apa cara pandangnya tentang kehidupan, dan seterusnya.
Lalu tiba-tiba mau diajak kawin lari, atau malah kawin kontrak. Tidakkah kita berpikir bahwa bahwa dia yang tidak berani mendatangi perempuan dengan baik adalah ciri dari laki-laki yang tidak baik. Dan sebaliknya dia yang mau diajak berbuat tidak baik adalah ciri dari perempuan yang tidak baik.
Bertaubat adalah cara terbaik untuk melepaskan diri dari cap sebagai laki-laki atau perempuan buruk. Ini adalah cara perbaikan diri berkesinambungan yang diajarkan oleh Islam. Siapa yang mengakhirkan istighfarnya sedang ia mampu unutuk beristighfar sekarang, maka istighfarnya itu membutuhkan istighfar lainnya, inilah taubatnya taubat, seperti kata Ibnu QayyimAl-Jauzi.
Hukum Fiqih
QS. An-Nur: 26 ini mempunyai pertalian dengan ayat ketiga dari surat ini, bahwa:
الزَّانِي
لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا
يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An-Nur: 3)
Ayat
ini tidak difahami dengan begitu saja bahwa perempuan yang keji itu
tidak boleh dikawini, atau haram jika dikawini. Tidak. Namun ayat ini
bertujuan memberikan penegasan akan buruknya perilaku zina tersebut.
Karena pada hakikatnya perempuan muslimah yang berzinapun tidak boleh
dinikahi oleh orang-orang musyrik yang beda agama.
Hal
yang menjadi perbedaan diantara ulama adalah terkait dengan pernikahan
seorang muslim dengan muslimah yang hamil karena zina.
1. Pendapat PertamaKalangan Hanafiyah mensahkan pernikahan ini, baik yang menikahinya itu dia yang menzinahi atau orang lain. Mereka menambahkan boleh bagi yang menzinahi untuk melakukan hubungan suami-istri setelah akad tersebut, akan tetapi jika yang menikainya itu orang lain, maka dia tidak boleh melakukan hubungan suami-istri sampai si perempuannya melahirkan. (Lihat: al-Kasa’i, Bada’i' as-Shona’i', 2/269)
2. Pendapat Kedua
Kalangan Syafi’iyyah juga membolehkan pernikahan ini, hanya saja makruh hukumnya menggauli istrinya yang sedang hamil itu setelah aqad. (lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/191).
Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti mereka merestui hubungan perzinahan yang sudah terjadi. Tidak. Zina tetap haram, dan ia merupakan perilaku yang sangat tercela.
Akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak ada hubungan sama sekali. Zina memang haram, tapi nikahkan halal. Dan yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
Seperti yang ditulis Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya bahwa permisalannya sama seperti orang yang mencuri buah dari kebun milik tuannya, lalu kemudian tuan kebun tersebut membeli buah darinya, maka apa yang dibeli hukumnya halal dan apa yang dicuri hukumnya haram. [ومثل ذلك مثل رجل سرق من حائط ثمره ثم أتى صاحب البستان فاشترى منه ثمره، فما سرق حرام وما اشترى حلال ]
Belum lagi yang demikina didukung oleh hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
لا يحرم الحرام الحلال
“Perkara yang haram tidak bisa mengaharamkan yang halal” (HR. Ibnu Majah. 2015)Pendapat ini juga bersandar kepada beberapa atsat yang pernah ada, diantaranya ini merupakan pendapat Abu Bakar ra, Umar ra, Ibnu Umar ra, dan Ibnu Abbas ra. (Lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/189)
Di Indonesia pendapat ini lebih dipakai, lihat saja misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam kita pada pasal bab VIII, pasal 53 dalam tiga ayatnya yang berisikan:
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pendapat Ketiga
Pendapat ini menyatakan bahwa perempuan yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahkan, sampai dia melahirkan. Baik bagi dia yang menzinahi maupun bagi selainnya. Ini adalah pendapat dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 32/110, dan Kasyfu al-Qona’, 5/83).
Imam Ibnu Qudamah (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 7/107) menyatakan bahwa yang demikian karena keumuman hadits berikut:
لا توطأ حامل حتى تضع
“Janganlah kalian menggauli perempuan yang sedang hamil samapai ia melahirkan” (HR. Hakim. 2790)Hadits ini secara redaksi sebenarnya berbicara tentang tidak bolehnya mengauli budak yang sedang hamil, akan tetapi keumuman lafaznya juga bisa dipakai untuk selain budak.
Bukan berarti hadits tersebut melarang seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang hamil. Bukan. Akan tetapi ini lebih mengarah kepada hal pernikahan. Jika dengan istri sendiri yang sudah sah, oke-oke saja. Tidak ada masalah. Jangan panik dulu.
Belum lagi ditambah dengan penjelasan hadits berikut:
“Dari AbudDarda’, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia (tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal untuknya, ….”(H.R Muslim)
Pengarang kitab Nailul Author, As-Syaukani juga menyatakan keharamannya, berdasarkan ayat berikut:
“ laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An-Nur: 3)
Ditambah dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika pernikahan seperti ini dibolehkan, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan sedikit ‘lalai serta mengangagap remeh perkara ini.
“Ga apa-apa hamil duluan, toh akhirnya nikahnya juga masih sah ko”. Begitu mungkin dalam anggapan sebagian orang. Untuk itulah mereka berpendapat bahwa pernikahan seperti ini tidak boleh terjadi, sebagai salah satu jalan untuk menutup perilaku zina yang sekarang terus berkembang dan menjamur diamana-mana.
Begitulah akhirnya, memang jiwa-jiwa itu seperti prajurit yang dibariskan, hanya mereka yang saling mengenallah yang akan mendekat dan pada akhirnya bersatu.
Wallahu A’lam Bisshowab
Muhammad Saiyid Mahadhir
Rumah Fiqih Indonesia
Komentar
Posting Komentar