Madzhab, Apa dan Bagaimana?


by : Ahmad Zarkasih, Lc

Rasanya definisi madzhab yang diutarakan oleh Imam Ahmad al-Dardir dalam al-syarh al-Kabir-nya ini pas dan cocok serta mudah dipahami oleh kebanyakan orang. Beliau mengatakan:
 أَيْ فِيمَا ذَهَبَ إلَيْهِ مِنْ الْأَحْكَامِ الِاجْتِهَادِيَّةِ إمَامُ الْأَئِمَّةِ
“Madzhab adalah pendapat dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang diambil oleh imam dari para imam madzhab.” (hasyiyah al-Dusuqi ‘ala al-Syarhi al-kabir)
Kemudian definisi itu dijelaskan oleh Imam al-Dasuqi; ulama kenamaan dari madzhab yang sama dengan imam al-Dardir; al-malikiyah. Beliau menjelaskan dalam hasyiyah-nya (1/19) bahwa yang disebut madzhab adalah sekumpulan pendapat yang keluarkan seorang imam yang diikuti dari para imam-imam madzhab semisal Imam Abu Hanifah, dan juga Imam Malik tentunya, serta Imam al-Syafi’i, juga Imam Ahmad.
Yang mana pendapat itu adalah sebuah hukum dalam masalah ijitihadiyyah; yakni masalah yang syariah tidak menjelaskan hukumnya secara ekplisit, yang kemudian menjadi lahan dan ladang para ulama untuk berijtihad di dalamnya.
Beliau (al-Dasuqi) meneruskan; jadi, apa yang dijelaskan hukumnya secara eksplisit (nash) di dalam al-Qur’an juga hadits Nabi s.a.w. tidak bisa dikatakan sebagai pendapat madzhab, akan tetapi itu adalah syariah. Contohanya seperti kewajiban shalat 5 waktu. Tidak bisa dikatakan bahwa wajibnya shalat 5 waktu itu pendapat madzhab fulan. Tidak bisa. Kewajiban shalat 5 waktu adalah kewajiban yang sifatnya qath’iy, yang tidak butuh ijtihad; karena sudah jelas dan nyata sekali disebutkan dalam al-Qur’an.
Berbeda hal-nya dengan –misalnya- masa iddah wanita yang ditalak suaminya. Dalam al-baqarah 228 memang Allah s.w.t. menyebut bahwa iddah-nya wanta yang ditalak suami itu 3 quru’, hanya saja arti quru’ dalam bahasa Arab itu masih bias. Ada yang mengartikan sebagai masa suci, ada juga yang mengartikan sebagai masa haidh. Karenanya, ulama beda pendapat di dalamnya. So, tidak bisa dikatakan bahwa menurut al-Qur’an masa iddah wanita yang ditalak suaminya adalah 3 kali masa suci. Tidak bisa. Yang betul adalah menurut madzhab fulan masa iddah wanita yang ditalak suaminya adalah 3 kali masa suci.
Jadi itu yang disebut madzhab, yakni sekumpulan pendapat-pendapat hukum dalam masalah ijtihadiyah. Masalah yang memang butuh ijtihad. Dan yang berijtihad adalah seorang imam. Poin ini menjadi penting untuk diketahui. Tidak semua orang bisa untuk melakukan apa yang telah dilakukan oleh seorang imam madzhab dalam mengkonklusikan sebuah hokum dari teks syariah. Tidak semua orang mampu, hanya orang-orang yang mempunya kapasitas saja yang boleh melakukan ijtihad itu. Dalam hal ini, di rubrik ini “Dirasah Madzahib”, telah banyak beberapa artikel yang mengulik soal siapa yang layak dan tidak layak untuk berijtihad.
Harus Ikut Madzhab?
Ini pertanyaan yang sering kali dilontarkan oleh kebanyakan orang terkait madzhab ini. “apa harus ikut madzhab?”, “seberapa perlu kah kita kepada madzhab fiqih?”, “bukankah yang wajib dikuti adalah Allah dan Rasul, bukan ulama?”.
Begini. Kita memang diwajibkan untuk mengikuti apa yang ada dalam al-Quran dan juga hadts Nabi s.a.w., setelah tahu hokum kemudian kita juga wajib untuk menjalankan apa yang termuat di dalam keduanya. Tapi sayangnya, memahami al-Quran dan Hadits Nabi s.a.w. itu terlalu sulit untuk sebagian orang atau bahkan mungkin kebanyakan orang. Rumit sekali. Dari mulai bahasa Arab yang tidak dikuasai, kemudian ilmu ushul-fiqh untuk menggali hukum yang tidak dimiliki, serta pengetahuan kaidah-kaidah dasar yang tidak dimiliki.
Tidak perlu jauh-jauh menjelajah ke berbagai masalah, cukup buka saja al-Qur’an dan di ayat yang pertama kali muncul; “bismillahi al-rahmani al-rahimi”, apakah ini bagian dari al-Fatihah atau bukan? Kalau iya, kenapa dalam beberapa hadits Nabi s.a.w., beliau s.a.w. dan para sahabat tidak membacanya. Kalau memang bukan, kenapa ada ayat ini tertulis paling depan di muka al-Quran? Di sini saja kita kewalahan. Kalaupun tahu, itu sudah barang tentu, dan bisa dipastikan 100% bukan karena kita tahu, tapi karena kit abaca dari apa yang dijelaskan oleh ulama pendahulu kita.
Seperti orang yang harus menaiki atap rumahnya untuk memperbaiki genteng yang rusak. Akan tetapi ia tidak mungkin bisa berada di atas rumah kecuali dengan memakai tangga. Maka tangga itu merupakan keharusan yang wajib diadakan; karena tidak mungkin bisa naik kea tap kecuali dengan tangga. Nah begitu juga sama dalam hal memahami agama ini. Memang kita harus kembali kepada al-Quran dan sunnah, akan tetapi kita tidak mungkin memahami kedua sumber tersebut kecuali dengan penjelasan dan pencerahan dari para ulama muktabar di masing-masing madzhab. Maka merujuk kepada ulama dan bertaqlid kepada mereka merupakan kewajiban yang timbul dari kewajiban kembali ke al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w..
Dalam kaidah ushul kita mengenal kaidah:
للوسائل حكم المقاصد
“hokum wasilah adalah sama seperti hokum tujuannya”
Mengikuti al-Qur’an dan sunnah adalah kewajiban, akan tetapi kewajiban itu tidak bisa terlaksana kecuali kita mengikuti ulama sebagai jalan (wasilah) untuk mengerti al-Qur’an dan sunnah. Jadi mengikuti ulama adalah sama wajibanya seperti mengikuti al-Quran dan sunnah.    
Seberapa perlu kita kepada madzhab saat ini?
Sepajang kita butuh kepada al-Quran dan sunnah, sepanjang itu pula kita membutuhkan madzhab. Karena memang kita tidka mungkin terlepas dari apa yang sudah mereka jelaskan. 100 % tidak mungkin kita berlepas dari para ulama dalam memahami teks al-Quran dan hadits.
Bahwa periwayat al-Quran sendiri pun kita tidak mengambilnya sendiri langsung dari Nabi s.a.w., melainkan kita mengambil dari periwayatan yang sampai kepada kita. Artinya dalam al-Quran pun kita mengikuti madzhab; madzhab qiraah tentunya. Dalam masalah hadits, adkah hadits yang kita riwayatkan sendiri langsung dari sumbernya; Rasul s.a.w.? tidak ada. Kita masih bermadzhab, madzhab-nya al-Bukhari atau juga madzhab-nya al-Tirmidzi dalam periwayatan hadits. Artinya memang kita sangat bergantung sekali kepada apa yang sudah ada dari pendahulu kita.
Dalam beberapa masalah muamalat dan social, memang kondisinya berbeda dengan apa yang ada di zaman para ulama madzhab,. Maka dalam hal ini, ulama kontemporer punya ruang yang luas untuk melakukan ijtihad. Akan tetapi dalam masalah ibadah ritual, apa ada hal baru? Shalat, misalnya. Apakah ada masalah baru dalam shalat? Tidak ada. Kalau pun terus diteliti ulang, ujung-ujungnya akan kembali kepada apa yang sudah dijelaskan oleh ulama madzhab dahulu.
Baca juga: Bermadzhab, Untuk Apa?  
Bukankah Kita Dilarang Fanatisme?
Mengikuti madzhab itu bukan fanatisme. Justru mengikuti madzhab adalah aplikasi dari pelaksanaan perintah Allah s.w.t. yang memerintahkan kita umat Islam untuk mengikuti dan bertanya kepada yang tahu pada hal yang kita tidak tahu. Maka keputusan seseorang untuk mengikuti madzhab karena memang ia tidak mengerti isi al-Quran dan sunnah adalah pilihan yang tepat. Justru bisa jadi meninggalkan madzhab itu yang menjadi sebuah kekeliruan; karena ketidaktahuannya terhadapa isi al-Quran dan sunnah.
Jadi bermadzhab bukanlah fanatisme. Fanatisme adalah memilih pendapat tertentu sambil menyalahkan pendapat berbeda dan memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat yang sama. Itu fanatisme. Dan madzhab fiqih tidak pernah mengajarkan gaya bertaqlid seperti itu.
Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sandaran Hati

Ada Apa dengan Kista?